Hawa sore
ini begitu indah. Langit lazuardi tampak berwarna oren kemerah-merahan. Aku
duduk di padang ilalang di belakang rumah. Mataku tajam menatap ke langit. Aku
sendiri. Ya, semenjak kematian Yoga, dia pacarku yang meninggal akibat
kecelakaan empat tahun silam. Dulu ia sering datang kemari. Bergurau di suasana
sore di padang ilalang belakang rumahku. Kedua orang tuaku bekerja di luar
kota.
Jadi
kuhabiskan waktukku sendiri. Aku tak bisa melupakkan sosok pacarku. Dia pernah
berjanji takkan pernah meninggalkanku. Namun takdir berkata lain. Bahkan aku
meneguhkan hati bahwa aku tak akan pernah mencintai cowok manapun karena saat
tragedi yang merenggut nyawa Yoga aku masih berstatus menjadi kekasihnya.
Hari-hari ku jalani dengan sangat hambar. Betapa tidak, kehilangan seorang
kekasih yang sangat dicintainya amatlah sakit. Terlebih kehilangan untuk
selama-lamanya.
Ditengah-tengah
lamunanku kurasakan seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan ternyata ia
adalah Farhan. Tiga tahun sudah aku mengenalinya saat pertemuan pertama kami di
tempat lembaga bimbingan yang ada di kota Bandung.
“Dicari
kemana-mana nggak taunya disini”. Farhan mulai duduk disebelahku. Aku hanya
tersenyum menyambutnya datang. Hari ini jadwal sore untuk berangkat les. Aku
meminta Farhan untuk menjemputku karena sepeda motorku sedang rusak.
“Mmm....
Kok belum siap-siap sih?”. Farhan kembali bicara karena aku hanya terdiam.
“Maaf
yah, kayaknya hari ini aku lagi nggak enak badan deh Far”. Responku dengan nada
yang lesu.
“Kamu
sakit?” Farhan memegang dahiku. “Badanmu panas, kenapa masih disini? Ayo masuk
ke dalem. Dingin tau! Lagian ini kan udah mulai sore”. Farhan menarik lenganku
untuk bangun dari tempatku duduk. Aku pun menurut tak berkomentar lalu kami
masuk ke dalam lewat pintu belakang.
“Lho kamu
nggak berangkat les Far?” tanyaku heran.
“Ng.....
Nggak deh! Mau nemenin kamu aja. Aku gak tega aja ninggalin kamu sendiri
disini. Apalagi sekarang lagi sakit. Kok kamu nggak bilang aku sih kalo kamu
sakit. Tau gini kan aku bawain obat” Farhan nyerocos tak henti-hentinya. Dia
pun ikut duduk di ruang tamu.
“Hmm! Aku
jadi nggak enak sama kamu. Udah minta di jemput eeeh malah ngajakin bolos les”.
Aku merasa tak enak hati pada Farhan.
“Siapa
yang ngajak bolos? Kamu? Nggak kok. Kamu kan lagi sakit gimana sih? Udah minum
obat belum?” Aku menggeleng. “Lho kok belum? Minum obat dulu dong”. Farhan
tampak perhatian sama aku. Namun ini berbeda dari perhatian-perhatian lain yang
ditunjukkan padaku sebelumnya.
“Gimana
mau minum obat. Orang obatnya aja nggak ada”. Jawabku agak kesal karena
pertanyaan Farhan yang bertubi-tubi.
“Oh iya
yah!” Farhan menepuk pelan dahinya. “Ya udah nanti aku beliin obatnya.” Aku
hanya mengangguk pelan. Lalu kita ngobrol asik sampai malam.
~ ~ ~
Hari demi hari aku pun mulai bersemangat menjalani hidup ini. Bukan berarti aku
melupakan semua kesedihanku, melupakan Yoga. Tidak. Tanpa di sadari aku dan
Farhan pun telah menjadi sepasang kekasih saat ia mengutarakan isi hatinya
tepat bulan Juni 2010 yang lalu. Aku menerimanya. Ya, karena aku ingin membuka
lembaran baru. Hari ini Farhan menelpon bahwa ia akan datang ke rumah. Aku
mengiyakan dan seperti biasa aku menunggunya di padang ilalang belakang
rumahku. Entah mengapa aku sangat nyaman berada disana. Terlebih saat Farhan
ada di sampingku. Sama seperti saat Yoga mengajakku bercengkerama di padang
ilalang itu. Aneh memang. Perasaan-perasaan dahulu saat bersama Yoga kini aku
rasakan kembali bersama Farhan.
Sejam kemudian Farhan datang. Wajahnya tampak berser-seri entah apa yang
terjadi pada dirinya.
“Dateng-dateng kok senyum-senyum sendiri sih? Ada yang lucu?” Aku menatap
kosong ke arah Farhan.
“Hehe? Kamu cantik hari ini”. Farhan duduk disebelahku sambil menyerahkan
secarik kertas indah kepadaku. Aku terbengong penuh tanda tanya. Pikiranku
tiba-tiba melayang jauh.....jauh......jauh.....dan jauh. Aku teringat sesuatu
hal. Aku terpikirkan oleh perkataan Farhan tadi. ‘kamu cantik hari ini’ ya!
Kata-kata itu selalu di ucapkan Yoga saat pertama berkunjung ke rumahku.
“Sayang? Tuh kan diajakin ngobrol malah diem. Kenapa sih? Nggak suka ya aku
dateng.” Farhan tampak kecewa melihat perubahaan raut wajahku atas
kedatangannya.
“Eh, nggak kok. Oiya apa ini?” aku membuka kertas pemberian Farhan tersebut.
“Mmm, itu puisi karyaku. Semaleman loh aku buat puisi itu khusus buat kamu”.
Farhan membelai lembut rambutku. Belaiannya selembut belaian Yoga. Aku pun
membaca pelan puisi itu yang isinya :
Jika di
dunia ini, ada banyak orang yang sayang sama kamu
Aku pasti salah satunya…
Jika di dunia ini, hanya ada satu orang yang sayang sama kamu
Orang itu pasti aku…
Jika di dunia ini, Tidak ada orang yang sayang sama kamu
Itu berarti, aku telah tiada…
Aku pasti salah satunya…
Jika di dunia ini, hanya ada satu orang yang sayang sama kamu
Orang itu pasti aku…
Jika di dunia ini, Tidak ada orang yang sayang sama kamu
Itu berarti, aku telah tiada…
Aku
tertegun membacanya. Sungguh di luar dugaanku hal ini bisa terjadi.
“Farhan...... kamu dapet dari mana kata-kata ini?” Mataku mulai berkaca-kaca.
“Ya ngarang dong. Sesuai isi hati aku. Kenapa? Jelek ya?”
“Nggak kok. Bagus banget. Aku suka” Aku berusaha tersenyum. Aku berpikir tak
henti-hentinya. Apa yang sedang terjadi pada diriku? Pada Farhan? Kenapa puisi
yang di buat Farhan sama persis seperti yang dibuat Yoga. Ada apa dengan mereka
berdua. Setiap kejadian-kejadian bersama Farhan pasti sama persis seperti
kejadian-kejadianku dulu waktu bersama Yoga selagi ia masih hidup.
“Makasih sayang. Jadi tambah semangat nih buat puisi lagi”. Farhan tampak
senang mendengar pujianku. Aku masih belum bisa membuang pikiran itu
cepat-cepat. Tiba-tiba Farhan memelukku. Aku pun memejamkan mata sesaat.
Menikmati indahnya sore di padang ilalang yang terhampar luas.
“Kehadiranmu....”. Begitulah kata yang terucap oleh bibir manis Farhan.
“Melebihi masa laluku dan sebanyak masa depanku”. Tanpa kusadari bibirku
mengucapkan kalimat yang tak ku duga. Tak pernah kuduga. Aku terperanjat
bangun. Nafasku tampak tak beraturan. Aku seperti orang ketakutan.
“Sayang kamu kenapa?” Farhan tampak bingung melihat perubahan tingkahku. Aku
tak bisa berkata lagi.
“Sayang kenapa sih? Kalo diem terus begini aku nggak bakal mengerti”. Farhan
berusaha membuatku tenang.
“Sebenernya kamu itu siapa?” begitu kata pertama yang ku ucapkan.
“Jangan bercanda deh. Kok tanyanya seperti itu?” Farhan semakin bingung. “Ada
apa sih kamu sebenernya?”. Lanjutnya. Keringatpun mulai mengucuri dahiku.
“Yoga....” ujarku dengan suara pelan. Aku tertunduk lesu, lemas, dan rasanya
hati ini mulai mengeruak ke seluruh aliran darahku.
“Yoga?” Farhan mengerutkan dahinya. “Yoga itu siapa?” Farhan mulai mendekatiku
dan membimbingku untuk duduk kembali. Aku menurut.
"Far, apa kamu pernah kenal Yoga sebelumnya?” Farhan menggeleng. “Apa kamu
pernah ngeliat dia?” Farhan kembali menggeleng. “Atau kamu pernah melihat
surat-surat puisi Yoga?”. Aku terus menanyakan pada Farhan. Dan kali ini dia
menjawab TIDAK.
“Bolehkah aku ungkapkan isi hati aku selama ini? Mungkin ini waktunya untuk aku
menceritakkan semuanya”. Farhan mengangguk yakin. Aku pun mulai menceritakan
semua yang mengganjal di hatiku. Tanpa terkecuali mengenai perkataan dan puisi
yang dibuat oleh Farhan.
“Sayang apa kamu pikir bahwa aku ini adalah Yoga?”
“Ya. Awalnya aku berpikir seperti itu. Tapi itu tak mungkin. Di sisi lain apa
yang kamu lakukan, kamu katakan, kamu perbuat sama seperti apa yang terjadi
pada Yoga”. Katakku di sela-sela isak tangisku.
“Percayalah, aku ini Farhan. Dan bukan siapa-siapa. Aku Cuma cowok yang
mencintaimu tulus. Dan tentang puisi, perkataanku, dan yang lainnya jujur itu
murni dan semua ini terjadi begitu saja”. Farhan menjelaskan untuk
meyakinkanku.
“Tapi, aku masih bingung. Mustahil hal ini bisa terjadi”.
“Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini sayang. Mungkin aku diciptakan untuk
menggantikan Yoga. Apa kamu masih sayang dia?. Tanya Farhan.
“Iya. Sayangku tak akan pernah berkurang untuknya. Tapi bukan berarti aku tak
menyayangimu”. Aku menatap mata Farhan.
Farhan tersenyum “Iya sayang, aku tau. Aku tau betul perasaan kamu. Aku percaya
kamu satu-satunya cewek yang sayang sama aku”.
“Aku minta maaf. Aku udah menyinggung perasaan kamu”. Aku tertunduk.
“Iya nggak apa-apa. Anggaplah aku seperti almarhum kekasihmu dulu. Aku terima
kok. Percayalah kehadiranku disini untuk terus menemani kamu. Dan aku berjanji
untuk selalu menjaga kamu semampuku”.
Aku tersenyum bahagia mendengar perkataan itu. Sejak saat itu aku mulai belajar
membuka lembaran baru bersama Farhan. Hati kecil ku pun kadang berkata bahwa
janji Yoga tak pernah teringkari. Ia selalu ada untukku di dalam dirinya. Ya,
diri Farhan yang kini menjadi cinta sejatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar