7 Sep 2016

Dia Selalu Ada Untukku Di Dalam Dirinya






Hawa sore ini begitu indah. Langit lazuardi tampak berwarna oren kemerah-merahan. Aku duduk di padang ilalang di belakang rumah. Mataku tajam menatap ke langit. Aku sendiri. Ya, semenjak kematian Yoga, dia pacarku yang meninggal akibat kecelakaan empat tahun silam. Dulu ia sering datang kemari. Bergurau di suasana sore di padang ilalang belakang rumahku. Kedua orang tuaku bekerja di luar kota.


Jadi kuhabiskan waktukku sendiri. Aku tak bisa melupakkan sosok pacarku. Dia pernah berjanji takkan pernah meninggalkanku. Namun takdir berkata lain. Bahkan aku meneguhkan hati bahwa aku tak akan pernah mencintai cowok manapun karena saat tragedi yang merenggut nyawa Yoga aku masih berstatus menjadi kekasihnya. Hari-hari ku jalani dengan sangat hambar. Betapa tidak, kehilangan seorang kekasih yang sangat dicintainya amatlah sakit. Terlebih kehilangan untuk selama-lamanya.

Ditengah-tengah lamunanku kurasakan seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan ternyata ia adalah Farhan. Tiga tahun sudah aku mengenalinya saat pertemuan pertama kami di tempat lembaga bimbingan yang ada di kota Bandung.

“Dicari kemana-mana nggak taunya disini”. Farhan mulai duduk disebelahku. Aku hanya tersenyum menyambutnya datang. Hari ini jadwal sore untuk berangkat les. Aku meminta Farhan untuk menjemputku karena sepeda motorku sedang rusak.

“Mmm.... Kok belum siap-siap sih?”. Farhan kembali bicara karena aku hanya terdiam.

“Maaf yah, kayaknya hari ini aku lagi nggak enak badan deh Far”. Responku dengan nada yang lesu.

“Kamu sakit?” Farhan memegang dahiku. “Badanmu panas, kenapa masih disini? Ayo masuk ke dalem. Dingin tau! Lagian ini kan udah mulai sore”. Farhan menarik lenganku untuk bangun dari tempatku duduk. Aku pun menurut tak berkomentar lalu kami masuk ke dalam lewat pintu belakang.

“Lho kamu nggak berangkat les Far?” tanyaku heran.

“Ng..... Nggak deh! Mau nemenin kamu aja. Aku gak tega aja ninggalin kamu sendiri disini. Apalagi sekarang lagi sakit. Kok kamu nggak bilang aku sih kalo kamu sakit. Tau gini kan aku bawain obat” Farhan nyerocos tak henti-hentinya. Dia pun ikut duduk di ruang tamu.

“Hmm! Aku jadi nggak enak sama kamu. Udah minta di jemput eeeh malah ngajakin bolos les”. Aku merasa tak enak hati pada Farhan.

“Siapa yang ngajak bolos? Kamu? Nggak kok. Kamu kan lagi sakit gimana sih? Udah minum obat belum?” Aku menggeleng. “Lho kok belum? Minum obat dulu dong”. Farhan tampak perhatian sama aku. Namun ini berbeda dari perhatian-perhatian lain yang ditunjukkan padaku sebelumnya.

“Gimana mau minum obat. Orang obatnya aja nggak ada”. Jawabku agak kesal karena pertanyaan Farhan yang bertubi-tubi.

“Oh iya yah!” Farhan menepuk pelan dahinya. “Ya udah nanti aku beliin obatnya.” Aku hanya mengangguk pelan. Lalu kita ngobrol asik sampai malam.

~ ~ ~

        Hari demi hari aku pun mulai bersemangat menjalani hidup ini. Bukan berarti aku melupakan semua kesedihanku, melupakan Yoga. Tidak. Tanpa di sadari aku dan Farhan pun telah menjadi sepasang kekasih saat ia mengutarakan isi hatinya tepat bulan Juni 2010 yang lalu. Aku menerimanya. Ya, karena aku ingin membuka lembaran baru. Hari ini Farhan menelpon bahwa ia akan datang ke rumah. Aku mengiyakan dan seperti biasa aku menunggunya di padang ilalang belakang rumahku. Entah mengapa aku sangat nyaman berada disana. Terlebih saat Farhan ada di sampingku. Sama seperti saat Yoga mengajakku bercengkerama di padang ilalang itu. Aneh memang. Perasaan-perasaan dahulu saat bersama Yoga kini aku rasakan kembali bersama Farhan.

        Sejam kemudian Farhan datang. Wajahnya tampak berser-seri entah apa yang terjadi pada dirinya.

        “Dateng-dateng kok senyum-senyum sendiri sih? Ada yang lucu?” Aku menatap kosong ke arah Farhan.

        “Hehe? Kamu cantik hari ini”. Farhan duduk disebelahku sambil menyerahkan secarik kertas indah kepadaku. Aku terbengong penuh tanda tanya. Pikiranku tiba-tiba melayang jauh.....jauh......jauh.....dan jauh. Aku teringat sesuatu hal. Aku terpikirkan oleh perkataan Farhan tadi. ‘kamu cantik hari ini’ ya! Kata-kata itu selalu di ucapkan Yoga saat pertama berkunjung ke rumahku.

        “Sayang? Tuh kan diajakin ngobrol malah diem. Kenapa sih? Nggak suka ya aku dateng.” Farhan tampak kecewa melihat perubahaan raut wajahku atas kedatangannya.

        “Eh, nggak kok. Oiya apa ini?” aku membuka kertas pemberian Farhan tersebut.

        “Mmm, itu puisi karyaku. Semaleman loh aku buat puisi itu khusus buat kamu”. Farhan membelai lembut rambutku. Belaiannya selembut belaian Yoga. Aku pun membaca pelan puisi itu yang isinya :

Jika di dunia ini, ada banyak orang yang sayang sama kamu
Aku pasti salah satunya…
Jika di dunia ini, hanya ada satu orang yang sayang sama kamu
Orang itu pasti aku…
Jika di dunia ini, Tidak ada orang yang sayang sama kamu
Itu berarti, aku telah tiada…

        Aku tertegun membacanya. Sungguh di luar dugaanku hal ini bisa terjadi.

        “Farhan...... kamu dapet dari mana kata-kata ini?” Mataku mulai berkaca-kaca.

        “Ya ngarang dong. Sesuai isi hati aku. Kenapa? Jelek ya?”

        “Nggak kok. Bagus banget. Aku suka” Aku berusaha tersenyum. Aku berpikir tak henti-hentinya. Apa yang sedang terjadi pada diriku? Pada Farhan? Kenapa puisi yang di buat Farhan sama persis seperti yang dibuat Yoga. Ada apa dengan mereka berdua. Setiap kejadian-kejadian bersama Farhan pasti sama persis seperti kejadian-kejadianku dulu waktu bersama Yoga selagi ia masih hidup.

        “Makasih sayang. Jadi tambah semangat nih buat puisi lagi”. Farhan tampak senang mendengar pujianku. Aku masih belum bisa membuang pikiran itu cepat-cepat. Tiba-tiba Farhan memelukku. Aku pun memejamkan mata sesaat. Menikmati indahnya sore di padang ilalang yang terhampar luas.

        “Kehadiranmu....”. Begitulah kata yang terucap oleh bibir manis Farhan.

        “Melebihi masa laluku dan sebanyak masa depanku”. Tanpa kusadari bibirku mengucapkan kalimat yang tak ku duga. Tak pernah kuduga. Aku terperanjat bangun. Nafasku tampak tak beraturan. Aku seperti orang ketakutan.

        “Sayang kamu kenapa?” Farhan tampak bingung melihat perubahan tingkahku. Aku tak bisa berkata lagi.

        “Sayang kenapa sih? Kalo diem terus begini aku nggak bakal mengerti”. Farhan berusaha membuatku tenang.

        “Sebenernya kamu itu siapa?” begitu kata pertama yang ku ucapkan.

        “Jangan bercanda deh. Kok tanyanya seperti itu?” Farhan semakin bingung. “Ada apa sih kamu sebenernya?”. Lanjutnya. Keringatpun mulai mengucuri dahiku.

        “Yoga....” ujarku dengan suara pelan. Aku tertunduk lesu, lemas, dan rasanya hati ini mulai mengeruak ke seluruh aliran darahku.

        “Yoga?” Farhan mengerutkan dahinya. “Yoga itu siapa?” Farhan mulai mendekatiku dan membimbingku untuk duduk kembali. Aku menurut.

        "Far, apa kamu pernah kenal Yoga sebelumnya?” Farhan menggeleng. “Apa kamu pernah ngeliat dia?” Farhan kembali menggeleng. “Atau kamu pernah melihat surat-surat puisi Yoga?”. Aku terus menanyakan pada Farhan. Dan kali ini dia menjawab TIDAK.

        “Bolehkah aku ungkapkan isi hati aku selama ini? Mungkin ini waktunya untuk aku menceritakkan semuanya”. Farhan mengangguk yakin. Aku pun mulai menceritakan semua yang mengganjal di hatiku. Tanpa terkecuali mengenai perkataan dan puisi yang dibuat oleh Farhan.

        “Sayang apa kamu pikir bahwa aku ini adalah Yoga?”

        “Ya. Awalnya aku berpikir seperti itu. Tapi itu tak mungkin. Di sisi lain apa yang kamu lakukan, kamu katakan, kamu perbuat sama seperti apa yang terjadi pada Yoga”. Katakku di sela-sela isak tangisku.

        “Percayalah, aku ini Farhan. Dan bukan siapa-siapa. Aku Cuma cowok yang mencintaimu tulus. Dan tentang puisi, perkataanku, dan yang lainnya jujur itu murni dan semua ini terjadi begitu saja”. Farhan menjelaskan untuk meyakinkanku.

        “Tapi, aku masih bingung. Mustahil hal ini bisa terjadi”.

       “Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini sayang. Mungkin aku diciptakan untuk menggantikan Yoga. Apa kamu masih sayang dia?. Tanya Farhan.

        “Iya. Sayangku tak akan pernah berkurang untuknya. Tapi bukan berarti aku tak menyayangimu”. Aku menatap mata Farhan.

        Farhan tersenyum “Iya sayang, aku tau. Aku tau betul perasaan kamu. Aku percaya kamu satu-satunya cewek yang sayang sama aku”.

        “Aku minta maaf. Aku udah menyinggung perasaan kamu”. Aku tertunduk.

        “Iya nggak apa-apa. Anggaplah aku seperti almarhum kekasihmu dulu. Aku terima kok. Percayalah kehadiranku disini untuk terus menemani kamu. Dan aku berjanji untuk selalu menjaga kamu semampuku”.

        Aku tersenyum bahagia mendengar perkataan itu. Sejak saat itu aku mulai belajar membuka lembaran baru bersama Farhan. Hati kecil ku pun kadang berkata bahwa janji Yoga tak pernah teringkari. Ia selalu ada untukku di dalam dirinya. Ya, diri Farhan yang kini menjadi cinta sejatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar